Kamis, 25 November 2010

PRINSIP PERPULUHAN KRISTIANI

Perpuluhan dengan persembahan serupa tapi tak sama
          Perlu diingat bahwa perpuluhan adalah persembahan kepada Allah yang berasal dari pendapatan (berkat yang diberikan Allah) sebagai tanda ketaatan dan ketergantungan umat kepada Allah, biasanya ukuran yang dipakai adalah sepersepuluh dari pendapatan. Sebagai bagian dari persembahan, ada keserupaan antara perpuluhan dengan persembahan pada umumnya seperti: pemberian kepada Allah sebagai persembahan yang benar, biasanya berupa uang ataupun hasil tanah dilakukan denga dasar hati yang tulus, benar dan kasih, diberikan dari milik terbaik dan tidak bercacat. Akan tetapi ada kekhususan yang membedakan perpuluhan dengan persembahan lainnya. Kekhususan dari perpuluhan adalah merupakan suatu persembahan yang harus dilakukan secara rutin, teratur dan adanya pedoman yang mengatur yaitu sepersepuluh dari pendapatan. Perpuluhan bukanlah persembahan sukarela seperti persembahan pada umumnya, dalam artian boleh dilakukan dan boleh tidak, diberikan sesukanya, sebebas-bebasnya tetapi persembahan yang secara khusus diatur sebagai sebuah kedisiplinan rohani. Perpuluhan harus diberikan kepada Allah secara rutin dan teratur sebagai tanda pengakuan terhadap kuasa Tuhan dan ungkapan syukur atas berkat Allah dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bait Allah. Allah telah memberikan hidup dan berkatnya sehingga adalah tanggung jawab moral ketika memberi perpuluhan kepada Allah yang mengaruniakan hidup.

Istilah mana yang benar? “Perpuluhan” atau “Persepuluhan”?
          Dalam pengistilahan, ada dua istilah yang berkembang yaitu “persepuluhan” dan “perpuluhan”, bahkan tak jarang dua istilah ini dipermasalahkan istilah mana yang benar. Tatkala, memperhatikan dalam Alkitab memang yang tertulis adalah persepuluhan bukan perpuluhan. Sebenarnya istilah “perpuluhan” adalah perkembangan dari istilah “persepuluhan.” Dalam perkembangan bahasa Indonesia terdapat perkembangan yang semakin menyingkat guna mempermudah pengucapan yang biasanya disebut sebagai bentuk adaptasi. Ketika dilihat dari tata bahasa Indonesia, kedua istilah ini memiliki akar kata yang sama yaitu sepuluh. Persepuluhan berasal dari kata dasar “sepuluh” yang diberi imbuhan per-an yang berarti sepersepuluh (bilangan yang berdasarkan sepuluh). Perpuluhan berasal dari kata “puluh”[1] yang diberi imbuhan “per-an”. Ada kalanya beberapa terjebak pada kesalahan bahwa persepuluhan berasal dari kata “puluhan” yang mendapat awalan “per-”, padahal dalam bahasa Indonesia, kata puluhan bukan kata dasar melainkan kata yang sudah berimbuhan dengan akhiran “-an”. Memang bukan tanpa alasan beberapa gereja menggunakan kata “perpuluhan.”
          Istilah perpuluhan biasanya lebih menitikberatkan pada alasan ‘persepuluhan’ dimaknai sebagai pemberian 10 % sebagai tolok ukur atau memberi dari sepersepuluh (1/10) dimana lebih memiliki kecenderungan hitungan matematis harus 10%, tidak kurang dan tidak lebih. Penggunaan istilah yang berbeda ini seharusnya bukan menjadikan penekanan utama untuk diperdebatkan sebab kedua istilah ini sama saja, dapat ditukar-pakai dengan maksud dan arti yang sama. Lebih jauh lagi, dalam perpuluhan sebenarnya makna lebih penting daripada struktur kata, makna perpuluhan bagi iman dan spiritualitas kerohanian seseorang, dalam artian sejauh manakah ketertundukan dan kebergantungan hidup seseorang kepada Allah. Ketika mengutamakan istilah dan struktur kata, sebenarnya akan ada peluang besar untuk menjadikan perpuluhan sebagai legalisme semata. Mengenai istilah disini penulis lebih memilih untuk menggunakan istilah perpuluhan untuk menghindari pemahaman perpuluhan yang hanya jatuh pada perhitungan matematis semata.

Apakah Yesus Meniadakan Perpuluhan?
          Memang menjadi tanda tanya besar ketika dalam Perjanjian Baru, perpuluhan yang sangat ditekankan dalam Perjanjian Lama seakan-akan ‘kurang ditekankan’, bahkan Yesus memberikan kecaman-kacaman berkaitan dengan persepuluhan seperti dalam Matius 23:23, Lukas 11:42, sehingga sering menjadi dasar acuan bahwa persepuluhan tidak perlu lagi dilakukan pada masa kini. Akan tetapi perlu diingat bahwa dalam Kitab Injil, Tuhan Yesus menyinggung persembahan selalu dalam kaitan hukum adat dan legalisme Taurat yang diselewengkan seperti dalam Matius 8:4, 9:13, 12:7, 15:5, 23:19.
          Sebenarnya perpuluhan berakar dari Perjanjian Lama tetapi juga dibina di dalam Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Baru perpuluhan sangat diatur dengan ketat sebagai kewajiban yang mutlak. Akan tetapi “aturan yang begitu detail, menjadikan perpuluhan berubah sekadar legalisme seperti ketika masa kerajaan, bukan dengan hati tetapi karena kewajiban dan hukuman.” Inilah yang ingin Yesus luruskan melalui pengajaran-Nya. Yesus datang tidak untuk meniadakan Hukum Taurat melainkan menggenapinya, menyempurnakannya (Matius 5:17-19). Salah satu aspek penyempurnaannya adalah aspek “interioritas”. Maksudnya, perbuatan lahiriah saja tidak cukup, sebab Tuhan melihat hati. Ketika orang Farisi heran melihat Ia tidak mencuci tangan sebelum makan, Yesus berkata kepadanya:
“Kamu orang-orang Farisi, kamu membersihkan bagian luar dari cawan dan pinggan, tetapi bagian dalammu penuh rampasan dan kejahatan. Hai orang-orang bodoh, bukankah Dia yang menjadikan bagian luar, Dia juga yang menjadikan bagian dalam? Akan tetapi, berikanlah isinya sebagai sedekah dan sesungguhnya semuanya akan menjadi bersih bagimu. Tetapi celakalah kamu, hai orang-orang Farisi, sebab kamu membayar persepuluhan dari selasih, inggu dan segala jenis sayuran, tetapi kamu mengabaikan keadilan dan kasih Allah. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan” (Luk 11:39-42).

Yang dimaksud Yesus dengan “isinya” adalah “bagian dalam” yaitu hati yang dalam Matius disamakan dengan keadilan dan kasih. Inilah yang ingin Yesus tekankan sebagai dasar dari perpuluhan kristiani. Alangkah tidak mungkin Yesus meniadakan perpuluhan tetapi Yesus memerintahkan orang kusta untuk memberi persembahan yang diperintahkan Musa (termasuk persepuluhan) di Matius 8:4. Perlu diingat bahwa dalam Perjanjian Baru, persepuluhan memang dianggap sudah sangat melekat dihati nurani Yahudi tetapi kehilangan maknanya. Oleh sebab itu Yesus datang untuk menggenapi artinya bukan membatalkan atau membebaskan sebebas-bebasnya melainkan memberikan penegasan sehingga perpuluhan menjadi kewajiban yang memerdekakan dan indah dilakukan.

Perpuluhan Khusus
          Dalam perpuluhan ada yang namanya perpuluhan khusus. Perpuluhan khusus adalah perpuluhan yang dilakukan secara khusus, biasanya berkaitan dengan dua hal.
          Pertama, berkaitan dengan orangnya. Perpuluhan khusus inilah yang menjadi jawaban pertanyaan beberapa hamba Tuhan, apakah hamba Tuhan harus memberikan perpuluhan? Dasar perpuluhan khusus adalah Bilangan 18:26-29, dimana orang Lewi membayar persepuluhan. Orang Lewi harus memberikan perpuluhan dari persembahan persepuluhan yang diterima mereka dari umat Israel. Prinsip perpuluhan khusus adalah prinsip yang sangat adil dan kasih. Perlu diingat bahwa bangsa Israel terdiri dari 12 suku dan dari 12 suku tersebut hanya suku Lewi yang tidak memberi perpuluhan. Artinya 11 suku memberikan perpuluhan kepada Suku Lewi. Dengan 11 suku yang memberikan persembahan persepuluhan kepada suku Lewi berarti sebenarnya suku Lewi mendapat 110 %. Untuk itu tatkala suku Lewi memberikan perpuluhan, maka bagiannya tersebut akan menjadi 90 sehingga semua suku sama rata mendapat bagian 90% (90% ini bukan masalah banyaknya uang atau harta yang didapat tetapi keadilan). Begitu juga dengan hamba Tuhan sekarang, harusnya memberikan perpuluhan sebagai bentuk kasih dan keadilan. Memang hamba Tuhan saat ini menerima perpuluhan dari jemaat tetapi tidak berarti hamba Tuhan tidak perlu memberi perpuluhan. Justru dengan memberi perpuluhan tersebutlah hamba Tuhan dapat belajar menyatakan iman, ketaatan dan kasih kepada Allah.
          Kedua, berkaitan dengan caranya. Tak jarang juga ada jemaat yang memberikan perpuluhan melebihi pedoman umum yang dipakai yaitu sepersepuluh. Beberapa memberikan perpuluhan 30 persen, 50 persen bahkan 90 persen, dengan pengakuan berkat yang diterimanya sangat melimpah melebihi apa yang dibutuhkan sehingga dipersembahkan untuk pekerjaan Allah. Mengenai tempat memberi perpuluhan (khusus), tentu saja harus melihat kembali prinsip perpuluhan diberikan yaitu pertama, keutamaannya adalah untuk mencukupi kebutuhan rumah Tuhan. Selain itu, “dalam hal memberi perpuluhan kepada Tuhan, harusnya membawa seseorang mengakui dan menyatakan bahwa ia sangat berharap dan bersandar kepada Allah untuk segala keperluannya.”

Berkat atas Respon Umat terhadap Persembahan Perpuluhan
          Tatkala membahas atau membicarakan mengenai perpuluhan, adakalanya langsung terpikir mengenai berkat yang didapatkan ketika memberi perpuluhan bahkan tak jarang yang menjadikannya sebagai tujuan utama memberikan perpuluhan. Dari sinilah perpuluhan sering dijadikan umpan, pancingan, metode, untuk mendapatkan berkat atau kekayaan. Memang dalam Maleakhi 3: 10 memaparkan adanya janji bahwa Allah akan memberikan berkatnya dengan mengatakan “ujilah Aku, firman Tuhan semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan.” Akan tetapi ayat ini tidak dapat menjadikan dasar bahwa orang yang memberi perpuluhan akan hidup kaya raya, berlimpah berkat materi. Allah tidak mungkin dapat ” disogok” dengan persembahan seseorang, sebab Allah Yang Maha Pengasih adalah Allah Yang Mahatahu, Yang Maha Adil, Yang Maha Mengerti.
          Sebenarnya, memberi adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia. Saat seseorang memberi dengan hati yang benar pasti akan memuaskan diri sendiri, sebab memberi adalah kebutuhan manusia. Hal ini berkaitan dengan imago dei yang ada dalam diri manusia. Sifat imago dei manusia menyebabkan manusia butuh untuk memberi seperti Allah yang adalah kasih, mengungkapkan kasih terbesar-Nya melalui pemberian Anak-Nya Yang Tunggal untuk manusia, begitu juga dengan manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah akan tampak ketika ia bertindak sesuai dengan sifat kasih Allah yaitu memberi. Oleh sebab itu ketika seseorang memberi perpuluhan dengan sukacita, sukarela dan disertai ucapan syukur, ia akan merasakan kelimpahan dari Allah bahkan sedikit-dikitnya ia dapat merasakan kecukupan atas berkat yang Allah berikan. Hidup yang dapat merasakan kepuasan, kelimpahan dan kecukupan dari Allah itulah berkat terbesar dari memberi perpuluhan. Mengenai berkat materi, itu adalah berkat sampingan. Beberapa memang memberi perpuluhan kemudian hidupnya menjadi kaya, akan tetapi banyak pula orang yang setia memberi perpuluhan tetapi hidupnya tetap sama saja. Oleh sebab itu, berkat materi tidak dapat menjadi patokan sebagai berkat Allah apalagi dijadikan sebagai retribusi dalam sistem tabur tuai atau bahkan sebagai “alat penggandaan uang” rohani, tentu saja tidak benar. Namun satu hal yang pasti adalah orang yang memberikan perpuluhan akan merasakan syukur berkat Tuhan yang diberikan itu cukup bahkan melimpah dalam hidupnya sehingga mampu membaginya kepada orang lain.

Hukuman Allah Terhadap Respon Perpuluhan   
          Allah juga menyediakan hukuman kepada manusia ketika ia tidak memberikan perpuluhan, bahkan beberapa orang menyebutnya sebagai kutukan Allah. Penghukuman Allah yang paling besar adalah ketika manusia tidak dapat merasakan kasih Allah yang begitu besar itu. Ketika seseorang tidak memberikan perpuluhan, ia sebenarnya melewatkan anugerah Allah untuk memberi artinya kebutuhan manusia untuk memberi belum terpuaskan sehingga ia pasti akan mengalami kekurangan dan tidak puas atas apa yang dimilikinya. Orang yang tidak memberikan perpuluhan tidak mampu merasakan kelimpahan tersebut, bahkan besar kemungkinan orang yang memberi perpuluhan dengan cara dan motivasi yang salahpun juga tidak mampu merasakan berkat ini. Meskipun mendapat materi yang jauh lebih banyak dari orang lain tetapi tetap kepuasan tersebut tidak didapatkan. Hal ini tentu dapat dimengerti sebab kepuasan diri tidak ditentukan besarnya materi yang diterima melainkan dari dalam yaitu bagaimana seseorang meresponi setiap berkat yang Allah berikan. Penghukuman lain yang dirasakan ketika tidak memberi perpuluhan mempengaruhi berkat yang Allah berikan. Berkat materi, harta atau uang yang didapatkan itu akan hilang tanpa terasakan manfaatnya, ibaratnya seperti “uang panas”, cepat didapatkan tetapi cepat hilang tanpa diketahui manfaat dan hasilnya. Konon mitos kristiani mengatakan uang tersebut Allah berikan kepada orang yang mampu mempertanggungjawabkan kepercayaan Allah, karena manusia hanya penatalayan Allah bukan pemilik harta.
           
Makna Perpuluhan Bagi Umat Percaya

1.      Sebagai Tanda Kebergantungan kepada Allah
            Setiap pemberian kepada Allah mengandung makna pengakuan yang penuh sukacita bahwa segala sesuatu berasal dari Tuhan dan hasil yang dipersembahkan sebagai tanda terima kasih dengan pengakuan iman. Perbuatan-perbuatan Allah terhadap umat tidak menjadikan manusia menjadi bebas (independen), tetapi justru bergantung kepada-Nya. Kebergantungan kepada Allah merupakan hubungan yang sangat penting dengan Dia. Kekayaan dan harta milik memang memiliki kecenderungan mengikat manusia bahkan dapat menjauhkan diri dari Allah, sehingga yang terjadi semakin banyak berkat didapatkan justru semakin menjauhkan diri dari Allah. Maka muncullah independensi bahwa “saya sudah memiliki semuanya, saya tidak membutuhkan Allah.” Dengan memberikan perpuluhan menyatakan bahwa umat mengakui kekuasaan Allah dalam kehidupannya dan umat menghendaki serta menginginkan hidup dalam kebergantungan kepada Allah. Perspektif psikologi agama memandang perpuluhan merupakan sebuah profesi dan peneguhan iman seseorang yang diwujudkan dalam tindakan. Ketika memberi perpuluhan maka seseorang menyatakan pengakuannya bahwa dalam kesemuanya itu, apa yang telah didapatkan berasal dari Allah, termasuk juga harta yang telah didapatkan dan diberikan dalam bentuk perpuluhan. Tuhan menjadi pemelihara atas dirinya, memang terkadang pemeliharaan tersebut dapat kurang atau lebih bahkan mungkin tidak cukup. Akan tetapi dalam hati memiliki kepercayaan bahwa Tuhan adalah yang berkuasa dan sangat bijaksana akan memelihara hidupnya. Hati yang demikian inipun adalah berkat yang telah diberikan oleh Tuhan untuk dapat mengucap syukur kepada-Nya dalam segala keadaannya. Dari sinilah perpuluhan  menjadi tanda kebergantungan kepada Allah atau tanda iman. Ketika tidak memberikan perpuluhan sebenarnya ia tidak mengakui bahwa berkat yang didapatkan berasal dari Allah.

2.      Sebagai Tanda Kasih
            Perpuluhan harusnya dimaknai sebagai ungkapan cinta kasih kepada Allah. Praktik perpuluhan sesungguhnya adalah praktik iman atas dasar hukum kasih yaitu kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Orang kristen membayar perpuluhan harusnya berlandaskan iman dan kasih kepada Allah. Perpuluhan adalah salah satu ekspresi iman, maka memberi perpuluhan tanpa disertai kasih adalah sia-sia. Seperti kata pepatah mengatakan, you can give without love, but you can’t love without giving, makanya orang yang mengasihi Allah pasti akan memberi kepada Allah baik itu persembahan, perpuluhan bahkan dirinya sendiri sehingga perpuluhan dibayarkan bukan untuk mencari berkat ataupun keuntungan melainkan sebagai bentuk kasih kepada Tuhan Yesus Kristus. Orang Kristen hendaknya bukan mengejar berkat melainkan mencari sang Pemberi Berkat. Dalam 1 Tawarikh 29:3, Daud memberikan persembahan kepada Allah dengan prinsip karena cinta kasih kepada Allah, sebab Allah tidak mementingkan harta ataupun uang yang besar tetapi memandang hati yang sungguh-sungguh mengasihi. Namun perpuluhan tidak dapat menjadi patokan jika orang yang memberi perpuluhan pasti kerohaniannya tinggi.

3.      Sebagai Tanda Hormat dan Ucapan syukur
            Salah satu cara dimana orang kristen menghormati dan menyembah Allah adalah dengan memberi sebagai ungkapan syukur dan hormat, bahkan Allah sendiri mengungkapkan kasih terbesar-Nya kepada manusia dengan memberi diri-Nya melalui pengorbanan Kristus. Maka dari itu ketika umat Allah memberi perpuluhan harusnya dilakukan dengan ucapan syukur dan hormat. Konsep ini memang berasal dari Perjanjian Lama khususnya ketika melihat motif perpuluhan Abraham dan Yakub. Tatkala umat memberi perpuluhan kepada Allah sebenarnya merupakan ungkapan syukur karena berkat yang telah Allah berikan sehingga mampu untuk memberi perpuluhan, bahkan lebih dari itu memberi merupakan suatu anugerah dari Allah. Adalah sangat nista jika manusia tidak mampu mengucap syukur atas anugerah pemberian yang tak terperikan dalam berkat yang diterimanya dan juga atas pemberian hati yang mampu memberi.

4.      Sebagai Tanda Kebebasan dari Kekuasaan Harta
            Harta ataupun uang kekayaan merupakan godaan yang cukup menggiurkan bagi manusia. Alkitab berkata bahwa akar dari segala kejahatan adalah cinta akan uang. Semakin banyak manusia memiliki uang semakin besar pula keinginan lain yang ingin didapatkan, karena manusia tidak pernah puas. Ketika umat memberikan perpuluhan sebenarnya menyatakan bahwa Allah yang mengontrol dirinya dan bukan kekayaan yang mengontrol manusia. Pengakuan Ini merupakan pengakuan yang besar bahwa segala sesuatu adalah milik Allah dan Allah berhak penuh untuk mengambil ataupun mendapatkannya. Oleh sebab itu memberi kepada Allah, mengingatkan bahwa umat harus lebih tunduk pada Allah bukan pada harta. Dalam hal iman, memberikan perpuluhan menjadi suatu pengakuan bahwa “aku bukan tuan atas hartaku, aku juga bukan hamba atas hartaku, aku adalah pelayan Allah.” Pengakuan yang bukan karena ikatan harta, angka dan kuantitas melainkan suatu ketertundukan kepada anugerah Allah yang telah diberikan Allah sebagai anugerah. Pengakuan ini memberikan pemahaman yang lebih luas dalam hal harta dan perekonomian dengan bersikap seperti anak Allah dan bekerja dengan keyakinan bahwa kita memiliki hak sebagai anak Allah dan memberikan setiap otoritas kedalam tangan Allah yang adalah Tuhan atas diri dan atas setiap harta kekayaan yang dimilikinya. Ketika memberi perpuluhan maka seseorang menyatakan pengakuannya bahwa dalam kesemuanya itu, apa yang telah didapatkan berasal dari Allah, termasuk juga harta yang telah didapatkan dan diberikan dalam bentuk perpuluhan. Tuhan menjadi pemelihara atas dirinya, memang terkadang pemeliharaan tersebut dapat kurang atau lebih bahkan mungkin tidak cukup. Akan tetapi dalam hati memiliki kepercayaan bahwa Tuhan adalah yang berkuasa dan sangat bijaksana akan memelihara hidupnya. Hati yang demikian inipun adalah berkat yang telah diberikan oleh Tuhan untuk dapat mengucap syukur kepada-Nya dalam segala keadaannya.



Kepustakaan

Jake Barnett, Pandangan Alkitab tentang Kekayaan, Harta dan Himat,.
H. Jagersma, The Tithes in the Intertestamental Leiden: OTS Pubhishers, 1981.
Henry Lansdell, The Tithe in Scripture.
R.T. Kendall, The Gift of Giving.Great Britain: Hodder&Stoughton, 1998.
Joseph Tong, ‘Mengenai Persembahan Kristen’ dalam Jurnal Teologi Stulos Volume 8 No. 1
George A. E. Salstrand, Persembahan Persepuluhan.
George F. Moore, ‘tithes’ dalam Encyclopaedia Biblica. New York: The Macmillan Company, 1907
Mc. Kay, Servant and Stewards. Philadelphia: The Geneva Press.
Earle E. Cairns, Christianity Through The Centuries; a History of The Christian Church (Grand Rapid: Zondervan Publishing House, 1981
Mark Walter, Christian Living; Made Simple. Tennessee: AMG Publishiers, 2002), hlm. 108.


[1] Kata “puluh” adalah penyingkatan dari kata sepuluh. Bandingkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 709.

Rabu, 24 November 2010

TERMINOLOGI PERPULUHAN

Arti Perpuluhan
          Sebagian orang kristen memang tidak asing lagi dengan istilah “perpuluhan” maupun “persepuluhan”. Dalam bahasa Inggris persepuluhan diterjemahkan dengan istilah tithe atau tithing, dalam bahasa Ibrani: מעשׂרה (baca: ma’aser) dan diterjemahkan dalam bahasa Yunani menjadi dekate  (baca: dekate). Berasal dari kata asar berarti persepuluh sebagai sebuah perhitungan dari pajak baik secara sekuler maupun agamawi telah ditemukan dalam bangsa-bangsa kuno. Dari pemahaman ini Persepuluhan dapat diartikan sebagai sepersepuluh bagian atau memberikan sepersepuluh dari apa yang dimilikinya. Lebih jauh lagi The International Standart Bible Encyclopedia, mengartikan tithe sebagai “The custom of giving a 10th part of the product of the land and of the spoils of war to priests and kings was a very ancient one among most nations.” Oleh sebab itu persepuluhan sering diartikan pemberian atau persembahan dari sepersepuluh bagian yang dimiliki.
           Dalam catatan sejarah persepuluhan tidak dimulai sejak Musa dan bukan pula kebiasaan khas dari Israel. Ide tentang persembahan persepuluhan tidaklah berasal dari kalangan Yahudi sendiri karena ada indikasi bahwa persepuluhan telah menjadi praktek yang sejak lama telah berkembang dalam budaya masyarakat di Timur Tengah.” Konsep persembahan persepuluhan ini sudah lama ada bahkan lebih tua 400 tahun dibandingkan dengan hukum Taurat. Kata persepuluhan sebetulnya bukan istilah keagamaan. Itu adalah istilah matematika yang dalam dunia kuno angka 10 adalah dasar untuk sistem perhitungan (angka dasar untuk mengukur, juga merupakan simbol penyelesaian). Agama-agama kuno di Timur Tengah memberikan persembahan kepada ilah-ilahnya dengan memakai perhitungan sepersepuluh. Dalam agama kuno angka 10 adalah lambang keseluruhan atau kesempurnaan. Bila seseorang telah memberi sepersepuluh kepada ilahnya untuk menunjukkan penyerahan yang menyeluruh. Dalam hal politik persepuluhan biasanya digunakan bangsa kuno Mediteran sebagai ukuran pajak atau pemberian upeti kepada penguasa. Persepuluhan adalah budaya kuno yang sulit untuk dilacak asal mula dan telah menjadi peraturan yang muncul dengan sendirinya. Meskipun demikian ada perbedaan konsep dan makna persepuluhan bangsa Yahudi dengan bangsa sekitarnya. Bagi bangsa Timur Tengah persepuluhan dipahami sebagai pemberian kepada dewa-dewa atau penguasa untuk diberkati atau agar selamat. Akan tetapi makna persepuluhan dalam Israel adalah sebagai suatu penghormatan tertinggi kepada Allah yang telah memberkati mereka dan sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas berkat tersebut.

Perpuluhan dalam Persembahan   
          Dalam konteks persembahan, kedudukan perpuluhan ada tiga tetapi saling terkait dan tak terpisah, yaitu:
1.      Perpuluhan adalah bagian persembahan
Perpuluhan merupakan bagian dari persembahan. Persembahan sendiri memiliki beberapa jenis. Dalam gereja masa kini, ada empat macam jenis persembahan yang dilakukan, antara lain: 1) Kolekte yaitu pengumpulan uang melalui persembahan pada saat kebaktian, baik kebaktian umum, kebaktian keluarga. 2) Persembahan Bulanan atau iuran bulanan yang merupakan persembahan tetap yang dilakukan tiap bulan. 3) Persembahan khusus adalah persembahan tidak tetap, oleh sebab itu sering dikatakan sebagai persembahan istimewa atau persembahan kasih. Yang digolongkan sebagai persembahan khusus antara lain: persembahan baptisan, persembahan syukur (ucapan syukur), persembahan untuk pembangunan gereja, persembahan pembelian alat gereja, persembahan kedukaan, persembahan karena usahanya berhasil, dll. 4) Persembahan Perpuluhan. persembahan perpuluhan adalah persembahan kepada Allah yang berasal dari pendapatan (berkat yang diberikan Allah) sebagai tanda ketergantungan umat kepada Allah, biasanya ukuran yang dipakai adalah sepearsepuluh dari pendapatan. Beberapa gereja mengelompokkan perpuluhan sebagai salah satu jenis persembahan sendiri tetapi beberapa gereja memasukkan persembahan perpuluhan dalam persembahan bulanan. Disinilah perpuluhan dianggap sebagai bagian dari persembahan.
2.      Perpuluhan tidak sama Seluruhnya dengan persembahan
Perpuluhan adalah bagian dari persembahan tetapi ada beberapa sisi yang membedakan perpuluhan dengan persembahan biasa. Ada aturan, pelaksanaan dan tujuan yang secara khusus membedakan perpuluhan dengan persembahan lainnya. Persembahan lain tidak diatur sedemikian rupa, terserah seberapapun diberikan, ada juga yang kapanpun boleh (tidak diharuskan), sedangkan perpuluhan bukanlah persembahan sukarela dalam artian boleh memberikannya dan juga boleh tidak. Secara jelas dalam Perjanjian Lama persepuluhan diatur sebagai suatu keharusan umat, diukur dari sepersepuluh pendapatan, keutamaannya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah Tuhan. Memang dalam memberikan perpuluhan harus didasari dengan kerelaan hati, akan tetapi perpuluhan adalah pemberian yang harus diberikan kepada Allah secara rutin dan teratur sebagai tanda pengakuan terhadap kuasa Tuhan dan ungkapan syukur atas berkat Allah dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bait Allah. Selain itu perpuluhan merupakan persembahan yang mencerminkan relasi umat yang kongkrit dengan Allah dimana mengakui Allah adalah Tuhan (Tuan) atas totalitas hidup dan segala yang dimiliki, sehingga dengan memberikan perpuluhan kepada Allah secara sadar harusnya mengakui otoritas Allah atas dirinya dan segala yang dimilikinya. Jadi ketika tidak memberi perpuluhan sebenarnya umat tidak mengakui otoritas Allah dalam hidup dan miliknya.
3.      Ada kesamaan antara perpuluhan dan persembahan
Dalam kaitannya dengan posisi perpuluhan dalam persembahan, terdapat irisan yang sama antara satu dengan yang lainnya. Meskipun perpuluhan berbeda dengan persembahan, akan tetapi bukan berarti bertentangan. Ada beberapa persamaan diantara keduanya, antara lain: pertama, sama-sama pemberian yang ditujukan kepada Allah. Kedua, persembahan (berupa uang ataupun hasil tanah) didasari oleh ketulusan, kasih dan kebenaran. Ketiga, pemberian tersebut adalah pemberian yang terbaik dan tidak bercacat sebagai persembahan yang benar. Keempat, memberi karena telah diberkati. Daya tarik pemberian harusnya didasari oleh kemurahan Allah yang mendahului segala pemberian. Kelima, dilakukan dengan ucapan syukur.

          Dalam kerangka inilah, perpuluhan dapat diartikan persembahan sebagai bentuk ungkapan syukur umat Tuhan atas berkat yang diterimanya dan sebagai wujud nyata akan pengakuan iman sebagai umat pilihan untuk menyatakan tanda kebergantungan kepada Allah yang adalah sumber segala berkat.

Perpuluhan dalam Ibadah
          Persembahan (termasuk perpuluhan) merupakan bagian dalam ibadah, khususnya dalam sunday service. Peribadahan dilakukan bukan hanya menjadi sarana pertemuan orang percaya tetapi seharusnya peribadahan dimengerti sebagai suatu anugerah untuk memberikan penghormatan dan pujian yang ditujukan kepada Allah. Peribadahan melibatkan keseluruhan hidup seseorang, setiap kata, tindakan dan perbuatan adalah untuk menyembah Allah (latreuo). Oleh sebab itu dalam ibadah yang terpenting bukan bentuk liturgi maupun kebebasan berekspresi, melainkan hubungan dengan Allah yang dilandasi hati yang penuh kasih dan ketaatan pribadi. Dalam kaitannya dengan ibadah, persembahan memiliki dua aspek yang saling terkait. Pertama, persembahan merupakan salah satu alat anugerah Allah selain pemberitaan firman dan sakramen. Oleh sebab itu harusnya persembahan membawa manusia pada pengenalan akan pemberi anugerah yang adalah Allah sendiri, ketika prinsip ini dilanggar berarti persembahan yang dilakukan sudah kehilangan makna esensinya. Kedua, persembahan adalah salah satu bentuk penyembahan kepada Tuhan. Penyembahan (worship) adalah sebuah kata majemuk dari worthy dan ship yang berarti mengakui tentang kebesaran Allah dan mempersembahkan hormat, pujian dan pemujaan umat kepada dia yang memiliki seluruh kekuasaan. Ketika beribadah harusnya terjadi penyembahan bersama mengakui kemuliaan, kebesaran, kekuatan, keagungan dan kekuasaan Allah. Umat menyimbolkan ungkapan memberi diri dengan cara persembahannya sehingga yang menjadi ukuran bukan banyak atau sedikitnya apa yang dipersembahkan melainkan hati dan motivasi dalam penyembahan kepada Allah. Dalam ibadah, memberi persembahan merupakan suatu pengakuan dan puji-pujian kepada kemurahan yang tak terbatas, kemurahan Allah yang telah memberikan segala sesuatu untuk anaknya dibumi. Secara ekstrim dapat dikatakan persembahan sebagai ukuran komitmen kristiani seseorang dalam meluapkan penyembahan kepada Allah.

Kepustakaan :
Bate’e, Yamowa’a. Mengungkap Misteri Persepuluhan. Yogyakarta: Andi, 2009.
Botterweck, G. Johannes. Theological Dictionary of The Old Testament IX. Grand rapids: Eedmans Publishing Company, 2001.
Brackett, John K. On The Pilgrims Way; Christian Stiwardship and the Tithe. New York: Office of Stewardship, 1988.
Carpenter, E.E. “tithe” dalam The International Standart Bible Encyclopedia Vol. 4. Grand rapid: Eerdmans Publishing, 1988.
Harris, R. Laird. Theological Wordbooks of  the Old Testament. Chicago: Moody Press, 1980.
Herlianto, Makalah Sahabat Awam: Persepuluhan, Penyalahgunaannya Pada Masa Kini. Juni, 2007.
Jagersma, H. The Tithes in the Intertestamental. Leiden: OTS Pubhishers, 1981.
Kantonen, T.A. A Theology for Christian Stewardship (Philaderphia: Fortress Press, 1956), hlm. 35.
Kendall, R.T. Tithing, A Call to Serious Biblical Giving. Grandrapid: Zondervan Publishing House, 1983.
Tong, Joseph. ‘Mengenai Persembahan Kristen’ dalam Jurnal Teologi Stulos Volume 8 No. 1. April, 2009.
Town, Elmer. Tithing is Christian. Lynchburg: Church Growth Institute, 1985.

KITAB KEBIJAKSANAAN SALOMO

Kebijaksanaan Salomo (Wisdom of Solomon) merupakan sebuah buku yang ditulis di sekitar abad 2-1 sebelum Masehi. Kitab ini mirip dengan kitab Ayub, Amsal dan bagian tertentu dari Pengkhotbah. Kebijaksanaan Salomo sering dipandang sebagai hasil karya yang tertinggi pada zaman antar-perjanjian. Kitab ini teristimewa membicarakan pokok pembalasan sebagai hukuman dan ketololan penyembahan berhala. Sebenarnya kitab ini adalah asimilasi dari pemikiran agama Ibrani dan filsafat Yunani.
a)      Pengarang
Kitab Kebijaksanaan Salomo ditulis dalam bahasa Yunani. Dalam septuaginta buku ini ditempatkan diantara kotab Ayub dan Pengkhotbah. Dalam terjemahan Latin kuno judul buku ini diubah menjadi “Kitab Kebijaksanaan.” Dalam isi akan terlihat bahwa pengarang sangat akrab dengan sistem budaya dan filosofi Hellenisme Yunani. Mengenai penulisnya, sangat diragukan keotentikan Salomo sebagai penulis. Bapak gereja lebih percaya bahwa Penulisnya adalah Seorang Yahudi yang tinggal di Mesir, hal ini diperkuat dengan isi yang ada pengaruh helenistik pada isi tulisan tersebut.
b)      Isi Kitab
Kitab Kebijaksanaan Salomo ditulis di abad ke-1 atau ke-2 SM dan berisikan 19 pasal. Dalam uraian isi kitab ini terlihat pengaruh kuat dari percampuran pemikiran Yahudi dan konsep Helenistik yang kental dengan kandungan filsafatnya. Seluruh kitab rapi tersusun, sedangkan juga gaya bahasanya tetap sama. Bahasa Yunaninya lancar dan perbendaharaan kata sedangkan juga banyak kemungkinan dari seni berpidato Yunani gampang dimanfaatkan. Struktur buku ini sendiri adalah sebagai berikut:

·         Pasal 1-5                Hikmat: Orang benar vs Orang fasik.
·         Pasal 6-9                Hikmat Allah
·         Pasal 10-19            Hikmat dan sejarah umat Allah
c)      Tujuan Penulisan
Tujuan kitab ini sendiri bisa diuraikan dengan melihat akhir kitab ini, bagaimana pembebasan umat Israel dari perbudakan di Mesir diceritakan dengan perspektif hikmat Allah (narasi yang disajikan dalam bentuk literatur hikmat ini sangatlah menarik dan menyegarkan), dan, dengan demikian, bagaimana umat Israel sekarang harus mengikuti hikmat Allah agar dapat keluar dari kondisi yang sama sekarang. Hikmat Allah yang demikian dapat ditelusuri dengan membaca dua bagian awal, yaitu di pasal 1-9. Di bagian pertama, pembaca dapat mengenali bagaimana kontras antara hikmat oleh orang benar dan oleh orang fasik. Dan, di bagian kedua, pembaca dapat mengenali hikmat Allah yang sejati, yang akan menuntun mereka untuk keluar dari situasi mereka sekarang yang mungkin mirip dengan apa yang dialami oleh nenek moyang mereka ketika mereka berada di Mesir.
Pertama-tama pengarang memperuntukkan kitabnya bagi orang-orang Yahudi, yaitu orang-orang sebangsa yang kesetiaannya digoncangkan oleh gengsi kebudayaan di Aleksandria: kemasyuran mazhab filsafahnya, kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, daya tarik berbagai agama “misteri”, ilmu nujum, pemujaan dewa (wahyu) Hermes atau agama-agama kerakyatan yang mempesonakan. Tetapi cara pengarang kadang-kadang menyajikan bahannya menyatakan bahwa juga ingin didengar oleh orang-orang bukan Yahudi. Mereka mau diantaranya kepada Allah yang mengasihi semua manusia. Tetapi ini hanya tujuan sampingan saja. Kitab Kebijaksanaan lebih-lebih mau membela daripada merebut.

            Diantara kitab-kitab apokripha, kitab Kebijaksanaan Salomo merupakan kitab yang paling kaya dengan pemikiran teologis. Ada beberapa hal yang menarik untuk dipelajari khususnya mengenai beberapa konsep teologi kitab ini, yaitu:

1.      TENTANG ALLAH
            Konsep tentang Allah dalam kitab ini cukup menarik. Dalam kitab ini, Allah digambarkan sebagai sumber kebijaksanaan dan hikmat yang benar serta akar dari kebakaan. Allah adalah penguasa yang mutlak yang mengatur dunia. Allah juga digambarkan sebagai roh pendidik yang suci. Oleh sebab itulah dianjurkan bahwa para penguasa hendaknya mencari Allah. Caranya seperti apa yaitu dengan memiliki kebijaksanaan, menjauhi kefasikan dan kebodohan, hal itu akan menolong manusia untuk mencari Allah. Hal ini penting karena Allah mencintai orang yang mencari dia dan hidup benar. Allah akan melindungi
            Allah juga digambarkan sebagai kebenaran. Kebenaran disini adalah pikiran dan tindakan manusia yang hidupnya selaras dengan Allah serta menyatakan dalam hubungan dengan sesame. Oleh karena pengertian inilah makanya kebenaran adalah kebalikan dari kefasikan. Kebijaksanaan, roh dan kudus merupakan tiga gagasan untuk menggambarkan Allah tetapi dari ketiga gagasan tersebut yang paling sering dipakai adalah kitab Kebijaksanaan Salomo. Allah adalah kebijaksanaan dan roh pendidik yang suci adalah kebijaksanaan dan kebijaksanaan adalah roh, maka Allah adalah roh dan kebijaksanaan itu sendiri. Roh Allah inilah yang memenuhi semesta. Oleh sebab itu dikatakan kasihilah kebenaran … sebab kebenaran adalah kesucian (kata kesucian lebih tepat diterjemahkan baka). Kebakaan inilah yang Allah sediakan untuk manusia sebagai harapan dan janji-Nya.

2.      TENTANG MANUSIA
            Manusia adalah ciptaan Allah (2:23dikatakan bahwa manusia dijadikan-Nya gambar hakekat-Nya sendiri). Tubuh manusia digambarkan sebagai tubuh dan jiwa. Kata jiwa dipakai kata keruh. Gambaran ini untuk menggambarkan bahwa manusia sudah dikuasai dosa, penuh dengan pikiran pander, pikiran bengkang-bengkung dan tipu daya.        Manusia juga memiliki batas kehidupan yang nantinya juga akan mati, tetapi jiwa orang benar ada ditangan Allah. Manusia juga terbatas sehingga tidak dapat mengetahui rahasia Allah. Dalam dunia ada dua manusia:
            Pertama adalah orang benar. Orang benar sebaliknya mereka digambarkan tidak menguasai dunia tetapi menguasai kebijaksanaan sehingga ia dekat dengan Allah. Oleh sebab itu jika orang ingin mendapatkan tahta dan tongkat kerajaan yang sesungguhnya maka hargailah kebijaksanaan Kelihatannya orang benar mendapat malapetaka dan hidupnya adalah kehancuran, penuh dengan siksaan tetapi sebenarnya mereka berada di tangan Allah dan memiliki harapan penuh kebakaan. Setelah disiksa mereka akan menerima anugerah besar sebab Allah hanya menguji mereka. Di sisi lain orang fasik mungkin hidupnya enak, memerintah dan mengadili tetapi sebenarnya mereka hidup dalam kebodohan dan penuh kutukan dari Allah.
            Kedua adalah Orang fasik disini adalah orang yang hidup jauh dari Allah, tidak menyukai kebijaksanaan dan dijauhi Allah. Mereka memang menguasai dunia tetapi mereka tidak menguasai kebijaksanaan. Mereka menganggap dirinya menguasai jagad dan menjadi allah. Mereka sebenarnya tidak begitu salah sebab sebenarnya mereka mencari Allah dan berusaha untuk menemukan Allah tetapi celakanya dalam pencariannya itu mereka membuat allah sendiri dan menolak Allah yang sejati. Ia mampu mengenal ciptaan-ciptaan-Nya dan kagum dengan ciptaan tersebut tetapi ia tidak mampu melihat sang Seniman itu. Allah menjauhi mereka dan kebinasaan yang menginginkan mereka. Oleh sebab itulah ketika datangnya kematian nanti kejahatan mereka akan berhadapan dengan mereka sebagai penuduh (4:20).

3.      TENTANG DOSA DAN MAUT
            Mengenai maut dalam kitab ini selalu dihubungkan dengan tidak kefasikan dan tidak bijaksana. Allah tidak pernah membuat maut, Allah tidak merencanakan maut bagi manusia oleh sebab itulah manusia hendaknya menghindari maut. Maut yang seperti apa yang dimaksud? Ada beberapa buku tafsiran yang menjelaskan bahwa maut ini adalah maut rohani dengan alasan: 1) Waktu kitab ini dikarang tidak ada keragu-raguan tentang maut fisik dan penghancuran jenazah. 2) Maut fisik dari orang fasik tidak disebutkan melainkan hanya keadaan di tempat penantian (4:19-20, 5:1-5). 3) Dalam pasal 1:11 dikatakan bahwa mulut yang berdosa mematikan orang. 4) Tekanan pokok bahkan dalam arti tertentu unsure pokok dari argument 1:12-15, mungkin bahkan dari seluruh kitab ini adalah gagasan rohani seperti kebenaran adalah baka. Maut tidak merajai bumi karena bumi berada dalam kuasa dan rencana Allah, justru manusia yang mengasihi kebenaran dapat mengalahkan maut. Maut berasal dari Iblis.
            Konsep dosa dalam kitab ini kurang begitu jelas sebab dosa selalu dihubungkan dengan perbuatan yang tidak dikenankan Allah dan sangat ditentang Allah. Tubuh manusia itu berdosa dan tidak akan lolos dari penghukuman Allah kecuali jika manusia insaf dan kembali kepada Allah. Akan ada hari penghukuman dimana dosa itu akan diadili dan disitulah dosa itu diperhitungkan. Orang yang benarpun dapat melakukan dosa tetapi yang menjadikannya mereka tetap benar adalah dengan insaf dari dosanya dan berbalik lagi kepada Allah. Tetapi satu hal yang tetap diingat bahwa dosa akan ada penghukuman dari Allah, hal itu akan terlihat tandanya.

4.      TENTANG IBLIS
            Dalam kitab ini kata iblis sendiri tidak ditemukan sebab yang ditemukan hanyalah kata setan. Disitu dikatakan bahwa maut masuk kedalam dunia karena kedengkian setan, dan yang menjadi milik setan akan mencari maut. Hal ini secara implicit dapat dikatakan bahwa maut bersumber dari setan dan di dunia ada yang menjadi milik setan. Disini terlihat juga doktrin predestinasi dari kitab Kebijaksanaan Salomo. Ada yang menjadi milik Tuhan yang ditetapkan dan dikasihi-Nya tetapi ada pula yang memang menjadi milik setan. Setan masuk ke dalam dunia tetapi setan tidak memiliki dunia karena dunia tetap dalam kuasa Allah. Mautlah bagian setan sebab Allah tidak menciptakan maut, maut itu adalah milik setan.

ALASAN TIDAK MASUK KANON

Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa kitab Kebijaksanaan Salomo dalam kekristenan sendiri ada beberapa pandangan. Untuk orang yahudi kitab ini tidak dimasukkan ke dalam kanonisasi mereka khususnya setelah konsili Jamnia. Bagi orang Katholik kitab ini dimasukkan dalam kanon yang bernama deuterokanonika tetapi dalam kitab orang Kristen Protestan kitab ini tidak masuk dalam kanon tetapi digolongkan dalam kitab-kitab apokripha.

Yahudi                                   Gereja Katolik:                     Gereja Protestan:
Protokanonika                         Protokanonika                         Protokanonika
Kitab-kitab lain                       Deuterokanonika                     Apokripha
Apokripha                               Pseudepigrapha

1.      Pandangan Yahudi
Kanonisasi dalam agama Yahudi didasarkan pada Konsili Jamnia (90-100). Hal ini dilakukan karena pada masa itu, masih terdapat kontroversi mengenai kitab non-protokanonik yaitu Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Putera Sirakh, Barukh, Makabe I & II, meskipun kitab-kitab tersebut dimasukkan, secara keseluruhan atau setidaknya sebagian, dalam Septuaginta, yaitu terjemahan resmi Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani (100 SM). Dalam konsili Jamnia ini mereka menetapkan empat kriteria untuk menentukan kanon (standard) Kitab Suci mereka yaitu:
d)     Ditulis dalam bahasa Ibrani.
e)      Sesuai dengan Kitab Taurat.
f)       Lebih tua dari jaman Ezra (sekitar 400 SM), hal ini dikarenakan kepercayaan orang Yahudi bahwa pada masa setelah Ezra, Allah tidak menurunkan wahyunya.
g)      Harus ditulis di Palestina.
Dalam konsili inilah kitab-kitab yang disebut Deuterokanonika ini tidak dimasukkan kedalam kanon Yahudi sebab semua kitab tersebut tidak dituliskan dalam bahasa Ibrani ataupun tidak diketemukan dasar salinannya dalam bahasa Ibrani.

2.      Pandangan Roma Katholik
Di dalam pandangan Roma Khatolik penetapan kanonisasi mengacu pada Konsili Trente, tepatnya melalui dekrit De Canonicis Sclipturis ( "Tentang Kanon Alkitab") pada tanggal 8 April 1546. Menurut keputusan tersebut gereja Katolik mengakui 45 kitab untuk PL dan 27 kitab untuk PB. Konsili ini dilakukan karena kebanyakan gereja lokal mengakui deuterokanonika sebagai bagian dari PL. Keputusan-keputusan Gereja lokal yang mempersiapkan keputusan Konsili Trente tersebut adalah:
a)      Beberapa konsili Gereja-gereja di Afrika Utara, yaitu konsili di Hippo pada 393, di Katargo pada 397 dan kemudian di Katargo lagi pada 419.
b)      Dekrit Paus Damasus yang dikeluarkan pada konsili di Roma pada 382.
c)      Konsili umum/universal yang diadakan pada 1441 dikota Firenze, Italia.
            Hal inilah yang mendorong para uskup untuk melakukan konsili dan menetapkan kitab tersebut termasuk deuterokanonika. Jadi istilah deuterokanonika atau "kanon yang kedua" tidak berarti bahwa bobotnya berbeda sebab baik protokanonika maupun deuterokanonika adalah Firman Allah yang sama otoritasnya.

3.      Pandangan Kristen Protestan
Dalam Kristen Protestan ketujuh kitab Deuterokanonika (Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Putera Sirakh, Barukh, Makabe I & II) dikelompokkan ke dalam kitab “Apocrypha” dengan memaklumkan, “Inilah kitab-kitab yang tidak sejajar dengan Kitab Suci, namun demikian berguna dan baik dibaca.” Dalam tiga dokumen yang lazim disebut Confessio Gallicana pada 1559, Confessio Belgica pada 1561 dan Confessio Westminster pada tahun 1648, Gereja-gereja Reformasi menetapkan kanon Alkitab mereka. Untuk kanon PB mereka mengakui ke-27 kitab seperti yang diakui Gereja Katolik. Namun untuk kanon PL kebanyakan Gereja Reformasi mengikuti kanon pendek Ibrani seperti yang diterima orang-orang Yahudi; jadi mereka tidak mengakui ketujuh kitab deuterokanonik dan tambahan pada kitab Daniel dan Ester sebagai Sabda Allah sendiri.
            Alasan mendasar yang menjadi penyebab mengapa protestan menolak deuterokanonika karena anggapan mereka mengenai konsep kanon yang berbeda. Hal lain yang menjadi keberatan mengenai kitab Kebijaksanaan Salomo yaitu:
·         Keaslian dan ketepatan yang diragukan khususnya mengenai penulis. Bapak gereja sangat meragukan penulisnya, justru lebih percaya jika penulisnya adalah orang yahudi yang tinggal di Aleksandia dimana sudah terpengaruh helenisme yunani. Oleh sebab itulah kitab ini digolongkan juga sebagai kitab Pseudographa.
·         Tidak dicantumkan dalam Perjanjian Lama berbahasa Ibrani.
·         Tidak pernah diakui maupun dipakai khususnya dalam Perjanjian Baru dimana Tuhan Yesus maupun rasul-rasul tidak pernah mengutip kitab Kebijaksanaan Salomo ini.
·         Dalam kitab ini tidak mengandung muatan mesianik yang merupakan benang merah dari Alkitab.
·         Tidak ada Kesan diwahyukan oleh Roh Kudus. Ketika membaca Alkitab kemudian membaca Kitab ini tentu ada perbedaan. Kitab ini kaya pemikiran teologis tetapi hambar secara rohani, Allah seakan-akan menjadi kabur ketika membaca.
·         Bentuk kanon protestan yang merupakan kanon tertutup, sudah selesai dan cukup untuk menyatakan Allah bagi manusia.

4.      Alasan Teologis
            Kitab ini sangat meninggikan hikmat (yunani: sophos). Berbeda dengan kitab sastra perjanjian Lama, kitab ini meninggikan hikmat terlalu berlebihan bahkan dapat dikatakan secara ekstrim bahwa hikmat itulah Allah. Jika membaca kitab ini orang akan dibawa untuk mengejar hikmat dengan sungguh-sungguh, hikmat dengan filsafat yunani. Hal ini tentu saja sangat bertentangan dengan Injil Yohanes. Dalam Injil Yohanes sangat terlihat bahwa konsep sophos inilah yang ingin ditentang. Ketika membaca kitab Yohanes yang ditinggikan bukan lagi sophos tetapi Logos (firman). Sejak awal konsep tentang Logos langsung diterangkan oleh penulis Injil Yohanes, untuk memperoleh keselamatan tidak dapat dicapai dengan mencari hikmat, mendapatkan hikmat tetapi dengan percaya pada Logos yaitu Yesus Kristus (Yohanes 14:6). Selain itu juga ada beberapa hal yang bertentangan dengan ajaran Perjanjian lama. Sebab isi dari kitab Kebijaksanaan Salomo ini yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Yunani seperti 7:25 dimana dunia diciptakan dari benda yang terlebih dahulu sudah ada, ajaran ini sama sekali bertentangan dengan kitab Kejadian. Meskipun kitab ini bukanlah Firman Tuhan tetapi bukan berarti kitab ini tidak bernilai sama sekali sebab tidak dapat dipungkiri bahwa kitab ini memberikan sumbangsih pemikiran teoogis yang patut untuk dipelajari sebagai pengetahuan. Dalam penulisannya memang Kebijaksanaan Salomo mirip dengan kitab Ayub, Amsal dan bagian tertentu dari Pengkhotbah. Saya merasa tidak salah jika kitab Kebijaksanaan Salomo sering dipandang sebagai hasil karya yang tertinggi pada zaman antar-perjanjian sebab memang kitab ini kaya akan pemikiran teologis yang sebenarnya asimilasi dari pemikiran agama Ibrani dan filsafat Yunani.


Kepustakaan :

Wim Van Der Weiden MSF, Kebijaksanaan Salomo. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
http:// www.sarapan pagi.com/deuterocanonic/
Lucas Tjandra, Latar Balakang Perjanjian Baru II. Malang: Literatur SAAT, 1994.